Percakapan dengan Bayangan part II
Lihat lah dia yang disamping mu
Aku masih disini, terjatuh dan tak dapat bangkit
Cukup sekali kau berbalik dan memandag ku
Aku tak butuh senyum mu, atau kau bantu untuk bangkit
Aku hanya butuh waktu untuk merelakan, dan bangkit dari sini
Hari sabtu, 23 oktober 2010. Hari ini tak seperti biasa ku terbangun cukup pagi, dengan tidur yang cukup malam, sekitar jam dua lewat tiga puluh
‘Tapi cukup munafik kawan ku,” jawab sosok bayangan itu.
“Astaga untuk apalagi kau datang, aku sudah tak butuh kau, tau kau?” bentak ku padanya.
“Yakin? Setelah kejadian semalam?”tanyanya dengan nada mengejek ku.
“Sialan kau, tau dari mana soal itu?”tanya ku pada bayangan itu.
“Ya tau lah, apa kau tak sadar? Aku selalu ada di samping aku bayangan mu yang tau siapa diri mu yang sebenarnya, bahkan apa yang tak engkau ketahui sekali pun dari diri mu aku tau!”kata bayangan itu pada ku.
“Apa? Seberapa tau kamu tentang aku? Oh Tuhan kenapa begitu banyak orang yang sok tau sama diri ku,” kata ku mengeras.
“Hahaha. Kamu yang sok tau sama diri kamu sendiri? Munafik kamu tau munafik? Ya kamu lah yang munafik!”kata bayangan itu membuat ku makin geram.
“Trus apa yang kamu inginkan dari ku?”tanya ku melunak.
“Ambil saja dulu handphone mu,”suruhnya pada ku. Ku ambil handphone ku.
“Lalu buka inboxnya, aku yakin sms itu berada paling atas,”suruhnya lagi.
“Lalu?”tanya ku.
“Bacakan untu ku,”katanya.
“Sudah bisa lupain aku ya? Boleh tau gimana caranya?”ku bacakan sms itu ntah lah kali itu hati ku terguncang membaca sms itu beda jauh saat semalam pertama kali ku baca sms itu.
“Dari siapa sms itu?”tanya banyangan seakan tak tau.
“Sudah lah tak usah terlalu banyak basa basi, kau cukup tau siapa orang itu! Aku tak ingin mengucapkan namanya di depan mu,” kata ku mulai kasar lagi.
“Oke, setelah kamu baca apa yang kamu rasakan?”tanyanya seolah tau guncangan dahsyat dalam dada ku yang baru saja terjadi, bahkan yang sampai saat itu masih terasa kerasnya.
“Biasa saja,”kata ku berbohong.
“Munafik, sekali ku tanya, apa yang kamu rasakan setelah ini?”tanyanya lagi.
“Biasa saja, kau mengerti kata biasa? Aku tak merasakan sesuatu!”kata ku meyakinkannya.
“Mesti aku bilang berapa kali munafik, aku tau apa yang kamu rasakan, semua tentang kamu aku tau! Ku tanya sekali lagi, apa yang kamu rasakan?”tanya bayangan itu lagi.
“Biasa saja, aku tak merasakan apa pun, sms biasa,”jawab ku datar pada bayangan itu.
“Dasar munafik, kau bohongi aku lagi, sekali lagi ku tanya apa yang kamu rasakan?”tanyanya kali ini bayangan itu tampak marah.
“Ya, aku merasakan guncangan dalam hati yang cukup kuat,”akhirnya ku jawab pertanyaanya dengan titikan air mata.
“Dasar cengeng, apa tak ada hal lain yang dapat kau lakukan selain menangisi kemunafikan mu itu? Hahaha. Bahkan itu sama sekali tak akan membuatnya kembali padamu!”katanya mengejek ku.
“Buat apa kau tanyakan hal yang tlah kau ketahui? Mengapa tak langsung saja kau berikan ku saran? Kau tau bukan apa yang terjadi pada ku?”tanya ku padanya.
“Ahh sudah lah, ikuti saja apa yang ku perintah, jawab dengan jujur apa yang ku tanya, jangan berbohong atau tak akan kau dapatkan jawabannya!”katanya membentak ku.
“Lalu?”tanya ku.
“Jawab sms itu dengan jujur kata
“Aku belum melupakan mu, bahkan sedikit pun kenangan itu belum ada yang hilang dalam otak ku. Kalau mungkin kamu memikirkan aku melupakan mu, mungkin itu karena aku sudah nyaman dengan situasi ku yang sekarang. Aku cukup bahagia dengan semua teman-teman ku yang peduli dan selalu setia menghibur ku. Aku pikir juga tanpa mu tidak seburuk yang aku bayangkan,”kata ku memenuhi permintaan bayangan.
“Bagus, lalu mengapa kau malah membalas smsnya dengan sindirian tajam atas apa yang ia lakukan pada mu? Kau membalasnya dengan kalimat “yang jelas nggak dengan cara nyari orang lain buat dijadikan pelarian”. Bisa kau jelaskan?”tanyanya.
“Semalam aku cukup kaget dengan sms itu, aku pikir dia yang sudah melupakan ku. Bahkan aku pikir dia sudah tak punya niat untuk sekedar menyapa ku, ya aku bukan siapa-siapanya lagi. Aku hanya mantan pacarnya yang pernah menyia-nyiakannya. Tak lebih baik dari pacarnya yang sekarang. Ya mungkin dia cukup bahagia bersama pengganti ku. Tapi ketika ku baca smsnya beribu pertanyaan datang. Apakah ini hanya sebuah betuk kasian dia terhadap aku yang tlah ia sakiti? Atau memang tulus karena ia perhatian pada ku? Atau karena dia takut aku benar melupakannya? Ya tapi semua cukup jelas, lihat lah aku, aku masih jomblo. Tak seperti dia, dia tlah memiliki pengganti ku. Aku pikir, aku memang belum dapat melupakannya. Jadi lebih baik aku bertahan menjadi seperti ini, ketimbang harus menyakiti seorang lelaki lagi,”kata ku jelas.
“Lalu? Mengapa kau balas smsnya dengan kalimat yang seperti itu? Kau belum menjawab pertanyaan ku kawan,”tanyan lagi.
“Karena aku kesal padanya, dia seolah mengejek ku, dia seolah menanyakan ku siapa orang yang dapat membuat mu melupakan ku. Atau dengan kata lain siapa nama pacar baru mu. Ya mungkin salah aku tidak postif thinking dulu, tapi kalau pun memang ia mengirimkan itu karena ia takut aku melupakannya, untuk apa? Dia cukup bahagiakan dengan perempuan baru itu?”tanya ku.
“Tau dari mana kamu tetang itu? Apa kamu tau apa yang ia rasakan? Ia pikirkan? Apa kamu tau ia sedang bahagia atau tidak?”tanya bayangan. Aku hanya terdiam.
“Kau tak tau apa-apa tetang mantan mu itu. Yang kamu tau bagaimana membuat mu bahagia dengannya, tanpa memikirkan perasaannya dan kebahagiaannya. Kurang baik apa mantan mu itu? Sekarang kamu menyesal iya bukan?”
“Berhenti dan pergi kalau yang kamu lakukan hanya untuk mengungkit semua kesalahan ku!”kata ku padanya sambil menangis.
“Tak ada kah jalan untuknya lagi?”tanya bayangan itu.
“Kau tau bukan semua tentang ku? Jawab lah itu sendiri!”kata ku berat karena air mata yang berjatuhan semakin banyak.
“Maafkan aku, tapi berhenti lah membohongi diri mu sendiri. Kau tau apa yang terbaik buat diri mu. Tapi mengapa selalu kau berikan yang salah untuk dirimu sendiri?”katanya pada ku. Aku tetap memangis dan tak ku jawab lagi perkataannya.
Akhirnya bayangan itu pergi, aku hanya terdiam menatap sosok di cermin. Air mata itu masih berjatuhan. Aku tau aku cukup munafik sebagai seorang yang masih mecintainya. Tapi aku hanya tak ingin melihat pasangannya terluka karena aku yang masih menyimpan rasa. Aku cukup sadar aku bukan lah siapa-siapa. Tapi salah kah aku kalau aku tetap menyimpan rasa ini? Terlalu indah untuk ku buang, terlalu manis untuk ku telan, namun terlalu pahit untuk ku rasakan.
1 komentar:
Nice story girl!
Posting Komentar